Bakri, begitu nama
tokoh kita semasa kecil. Sejak usia 6
tahun kedua orang tuanya memutuskan firoq. Setelah perceraian itu, Bakri kecil
tinggal dilingkungan pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh
neneknya, Ny. Isti’anah.
Semasa kecil,
Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat yang
kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang berupa kiatab-kitab agama maupun
bidang lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh
adalah kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang digelar,
Bakri kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah mahir
ataukah pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi paham
benar berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur dan
berdebat dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng dari pakem.
Kebiasan Bakri
kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi. Meski
judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi hanya
untuk membuat kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya merasa
bahwa perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga. Adalah Ny.
Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri, suatu hari
mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K. Yahuda di Lorog
Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan segala rasa
khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya itu.
Konon, beberapa
hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam mimpinya,
K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan tetapi,
Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia mengambil batu
besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan. Mimpi inilah
yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih kerap
menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
Bakri, begitu nama
tokoh kita semasa kecil. Sejak usia 6
tahun kedua orang tuanya memutuskan firoq. Setelah perceraian itu, Bakri kecil
tinggal dilingkungan pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh
neneknya, Ny. Isti’anah.
Semasa kecil,
Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat yang
kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang berupa kiatab-kitab agama maupun
bidang lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh
adalah kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang digelar,
Bakri kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah mahir
ataukah pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi paham
benar berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur dan
berdebat dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng dari pakem.
Kebiasan Bakri
kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi. Meski
judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi hanya
untuk membuat kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya merasa
bahwa perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga. Adalah Ny.
Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri, suatu hari
mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K. Yahuda di Lorog
Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan segala rasa
khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya itu.
Konon, beberapa
hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam mimpinya,
K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan tetapi,
Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia mengambil batu
besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan. Mimpi inilah
yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih kerap
menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
![]() |
Salah satu karya Syech Ihsan yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesi |
Rihlah ‘Ilmiah
Setelah itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia keluar dari
pesantren ayahnya untuk melalang buana mencari ilmu dari satu pesantren ke
pesantren lain. Beberapa pesantren yang sempat disinggahi oleh Bakri
diantaranya:
1.
Pesantren Bendo
Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri),
2.
Pondok
Pesantren Jamseran Solo,
3.
Pondok
Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
4.
Pondok
Pesantren Mangkang Semarang,
5.
Pondok
Pesantren Punduh Magelang
6.
Pondok
Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
7.
Pondok
Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Yang unik dari rihlah ‘ilmiah
yang dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak pernah menghabiskan banyak waktu di
pesantren-pesantren tersebut. Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari
KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak
kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari;
sedangkan di Peantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun
demikian, ia selalu berhasil menguasai dan ‘memboyong’ ilmu para gurunya
tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu lagi yang unik, di setiap
pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’. Ia tidak mau dikenal
sebagai ‘gus’ (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui identitas aslinya
sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya
terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari Jampes, dengan
serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari pesantren tersebut untuk
pindah pesantren lain.
![]() |
Karya masyhur Syech Ihsan |
Sanad Keturunan
Syaikh Ihsan lahir pada 1901 M.
dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan Ny. Artimah. KH. Dahlan,
ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang kiai yang tersohor pada masanya; dia pula
yang merintis pendirian Pondok Pesantren Jampes pada tahun 1886 M.
Tidak banyak yang dapat diuraikan
tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur ibu. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa
ibu Syaikh Ihsan adalah Ny. Artimah, putri dari KH. Sholeh Banjarmelati-Kediri.
Sementara itu, dari jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah putra KH. Dahlan putra KH.
Saleh, seorang kiai yang berasal dari Bogor Jawa Barat, yang leluhurnya masih
mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syarif Hidayatullah)
Cirebon.
Terkait dengan nasab, yang tidak
dapat diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny.
Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil besar dalam membentuk
karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah para
kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang
ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika urutan nasabnya diteruskan
akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram pada abad ke-16.
Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari
Syaikh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari Tegalsari Ponorogo yang masih
keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Mengasuh Pesantren dan Masyarakat
Pada
1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti
menjaid Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan,
dipanggil oleh Allah SWT. Semenjak itu, kepemimpinan PP Jampes dipercayakan
kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi,
dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan suka
rela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat
itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Ada
banyak perkembangan signifikan di Pesantren Jampes setelah Syaikh Ihsan
diangkat sebagai pengasuh. Secara kuantitas, misalnya, jumlah santri terus
bertambah dengan pesat dari tahun ke tahun (semula ± 150 santri menjadi ± 1000
santri) sehingga PP Jampes harus diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar tanah.
Secara kualitas, materi pelajaran juga semakin terkonsep dan terjadwal dengan
didirikannya Madrasah Mafatihul Huda pada 1942.
Sebagai
seorang kiai, Syaikh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap
tenaganya untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya
dipenuhi aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat
jama’ah, shalat malam, muthola’ah kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun
seluruh waktunya didesikannya untuk santri, ternyata Syaikh Ihsan tidak
melupakan masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal memiliki lmu hikmah dan
menguasai ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar
santri, Syaikh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah yang
meminta bantuannya.
Pada
masa revolusi fisik 1945, Syaikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan
bangsa. PP Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan
republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta
doa restu Syaikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali
Syaikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis
depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk
yang mengungsi akan memilih pp jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syaikh
Ihsan membuka gerbang pesantrenya lebar-lebar.
![]() |
Diantara karyanya yang dikaji di PBNU |
Syaikh Ihsan Mangkat
Senin,
25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah
SWT, pada usia 51 tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan
delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan
ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur
(kertas: karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur (memori:
murid-muridnya).
Beberapa
murid Syaikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah
melalui pesantren adalah:
1.
Kiai
Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban;
2.
KH.
Zubaidi di Mantenan Blitar;
3.
KH.
Mustholih di Kesugihan Cilacap;
4.
KH.
Busyairi di Sampang Madura;
5.
K.
Hambili di Plumbon Cirebon;
6.
K.
Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Sumbangan
Syaikh Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi
masyarakat muslim Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak pakar
yang mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya
masterpiecenya, siraj ath-Thalibin, terutama ketika kitab tersebut diterbitkan
oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab- al-Halab. Sayangnya, di
antara kitab-kitab karangan Syaikh Ihsan, baru siraj ath-Thalibinlah yang mudah
didapat. Itu pun baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat pesantren sebab belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Warisan Ilmiyah
- Tashrih al-Ibarat (syarah dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), terbit pada 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi).
- Siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf.
- Manahij al-Imdad (syarah dari kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari), terbit pada 1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf.
- Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik \[plus syarah] dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hukum merokok dan minum kopi.
[Dihimpun
dari berbagai sumber, terutama dari buku “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan
al-Jampesi al-Kediri” karya KH. Busyro A. Mughni \[t.p., t.t.], http://www.sufinews.com]
bismillah
BalasHapus